Yang dimaksudkan dengan Ijtihad Nabi Muhammad saw adalah
mengeluarkan hukum syariat yang tidak ada nash-nya. Ulama berbeda
pendapat mengenai boleh tidaknya Rosulullah berijtihad kedalam dua kelompok
besar:
Pertama, kalangan
Asy’ariyah dari ahli sunnah dan mayoritas Mu’tazilah. Mereka berpegang teguh
bahwa Nabi tidak boleh berijtihad sendiri. Diantara dalil yang mereka gunakan
adalah firman Allah swt:
وَمَايَنْطِقُ
عَنِ آلْهَوَى # اِنْ هُوَ اِلاَّ وَحْىٌ يُوحَى #
dan tiadalah
yang diciptakannya itu menurut kemauan hawa nafsunya; Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan. (Qs. An-Najm (53): 3-4)
Ayat ini menafikan bahwa baginda Rosulullah
menetapkan sebuah hukum berdasarkan pendapat pribadi yang tidak ada wahyu
tentang itu karena setiap permasalahan yang muncul, baginda selalu berharap ada
wahyu yang turun menjelaskan hukumnya dan ketika wahyu turun maka itu pasti
benar tidak ada yang salah, dan jika baginda berijtihad dengan pendapatnya
sendiri maka ijtihadnya itu ada kemungkinan benar atau salah, dan jika ia
memang benar dan lebih dekat kepada kebenaran maka tidak boleh ditinggalkan
lalu mengamalkan yang masih belum pasti selama yang pertama masih bisa
diamalkan.
Dalil ini disanggah karena hujjah (alasan)
yang disebutkan tidak dapat diterima, sebab kata ganti “huwa” dalam ayat “in
huwa illa wahyun yuwha” kembali kepada Al-quran, karena ayat ini turus sebagai
jawaban terhadap ucapan orang kafir yang mengatakan bahwa Al-quran adalah
rekayasa Muhammad. Ayat ini turun dengan sebab khusus, sehingga makna yang
sesuai adalah bahwa ayat yang dibaca oleh Muhammad bukan keluar dari hawa nafsu
melainkan wahyu dari Allah. Oleh karena itu, ayat tersebut hanya khusus untuk
kasus Al-quran, dan tidak dapat digeneralisir pada keselurhan ucapan Nabi.
Seandainya kita sepakat ada makna umum, maka
ijtihadnya Nabi tidak sama dengan ijtihadnya oranglain karena ia juga akan
berakhir dengan wahyu karena jika baginda tepat dalam ijtihadnya, pastilah
wahyu akan mengakuinya dan jika ia salah maka wahyu akan selalu mengarahkannya.
Kedua, mayoritas ulama usul mengatakan
boleh bagi Rosulullah, untuk berijtihad dalam setiap urusan, baginda boleh
berijtihad dalam semua perkara yang tidak ada nash-nya, dalil mereka:
Nabi muhammad diperintahkan untuk berijtihad
dengan keumuman firman Allah, “maka carilah pelajaran wahai orang-orang yang
berakal”. Artinya bandingkan antara kejadian yang tidak ada hukumnya; jika ada
kemiripan antara keduannya dalam illat dan ini adalah salah satu bentuk
ijtihad.
Nabi Muhammad sangat mengetahui illat-illat
(sebab) setiap nash dan hikmah dari setiap pensyariatan, dan setiap orang
yang mengetahui hal ini seharusnya menerapkannya untuk masalah furu’
yang ada kemiripan alasan, dan pekerjaan ini adalah menetapkan hukum pada
masalah dasar untuk masalah cabang dan inilah yang dinamakan qiyas dan ini juga
adalah ijtihad dan dengan begitu dan dengan begitu maka boleh bagi baginda
Rosulullah untuk berijtihad.
Fakta juga membuktikan bahwa Rosulullah pernah
melakukan ijtihad dalam banyak kejadian. Diantaranya bahwa ada seorang lelaki
dari kabilah ju’tsum datang kepada baginda dan berkata, “Ayah saya masuk islam,
namun ia sudah sangat tua, tidak bisa menaiki kendaraan dan melaksanakan haji
yang diwajibkan kepadanya, apakah saya harus menghajikannya!” Baginda menjawab “apakah
kamu anaknya yang paling besar?” ia menjawab, “Ya,” baginda menjawab “Apakah
yang akan kamu lakukan jika ayahmu ada hutang, lalu kamu membayarnya apakah itu
boleh!” Ia menjawab “Tentu,” Nabi bersabda “Hajikan ayahmu” Rosulullah disini
mengkiyaskan haji dengan hutang untuk diwakilkan dalam pelaksanaannya.
Ada sejumlah riwayat dari rosulullah yang
menjelaskan bahwa rosulullah diberi hak memilih dalam beberapa kejadian,
salahsatunya ialah “Sabda rosulullah kalau bukan karena kaummu masih dekaat
dengan zaman kekufuran pastilah aku mendirikan kakbah sesuai dengan bangunan
ibrahim”, hadis ini menjelaskan bahwa baginda diberi pilihan dalam sebagian
urusan, diantaranya dalam menghadapi masalah yang satu ini.
No comments:
Post a Comment