Sunday, May 1, 2016

Animisme



Animisme berasal dari kata anima, animae, dari bahasa Latin animus, dan bahasa Yunani avepos, dalam bahasa Sanskerta disebut prana, dalam bahasa Brani disebut ruah yang artinya nafas atau jiwa. Dari pandangan sejarah agama istilah tersebut digunakan dan diterapkan dalam suatu pengertian yang lebih luas untuk menunjukkan kepercayaan terhadap adanya makhluk-makhluk spiritual yang erat sekali hubungannya dengan tubuh atau jasad. Dalam artian yang lebih jelas bahwa kepercayaan animisme adalah suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh tumbuhan, hewan, dan juga pada manusia itu sendiri. Semua benda yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan ghaib atau memiliki roh yang berwatak buruk dan baik. Dengan kepercayaan tersebut mereka berangapan bahwa disamping semua roh yang ada, terdapat roh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Dan agar terhindar dari roh tersebut mereka menyembahnya dengan jalan mengadakan upacara disertai dengan sesaji.

Animisme juga memberi pengertian yang merupakan suatu usaha untuk menjelaskan fakta-fakta alam semesta dalam suatu cara yang bersifat rasional. Karenanya lalu sering di katakan “kepercayaan” atau “agama” dan “filsafat” masyarakat yang belum berperadaban. Karena objek-objek tadi sangat berkuasa dan menentukan keselamatan manusia, maka manusia lalu menghormatinya, menyembahnya dan memujanya. Tingkat pemujaan dan penyembahan ini berdasar atas tingkat rasa takut, penghargaan, rasa ketergantungan dan kebutuhan terhadapnya. Animisme sangat populer dikalangan masyarakat primitif sehinga memberi kesan sebagai agama primitif.
Sebagaimana yang terdapat di jawa sebelum pra islam, masyarakat jawa mayoritasnya meyakini dengan keberadaan tersebut dan menjadikan hal tersebut sebuah kepercayaan yang melekat dan aromanya masih terasa sampai sekarang ini. Sepeti contoh berikut:
1.      pemberian sesaji atau sesajen kanggo sing mbahureksa, mbahe atau danyang yang berdiam di pohon-pohon beringin atau pohon besar dan telah berumur tua, di sendang-sendang atau belik, tempat mata air, di kuburan-kuburan tua dari tokoh yang terkenal pada masa lampau atau tempat-tampat lainnya yang dianggap keramat dan mengandung kekuatan gaib atau angker dan wingit atau berbahaya. Agar dapat menarik simpati roh-roh yang berdiam di tempat angker tersebut, maka pada waktu tertentu dipasang sesaji berupa sekedar makanan kecil dan bunga. Sesaji diselenggarakan untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya kekuatan makhluk-makhluk halus seperti lelembut, demit dan jin yang mbahureksa atau diam di tempat-tempat tersebut agar tidak mengganggu keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan keluarga yang bersangkutan. Selain itu juga untuk memohon berkah dan memohon perlindungan dari yang mbahureksa agar terhindar dan terjauhkan dari gangguan makhluk halus lainnya yang diutus oleh seseorang untuk mengganggu keluarganya.
2.      Upacara kematian yang di laksanakan secara berurutan sebagai berikut. Slametan surtanah atau geblak yang diadakan pada saat meninggalnya seseorang, slametan nelung dina, yaitu upacara keselamatan kematian yang diadakan pada hari ke tiga sesudah saat meninggalnya seseorang. Slametan mitung dina, yaitu upacara selamatan saat sesudah meninggalnya seseorang yang jatuh pada hari ke tujuh. Kemudian, slametan matang puluh dina atau empat puluh harinya, slametan nyatus atau seratus hari, slametan mendak sepisan dan mendak kepindo, yaitu setahun dan dua tahunnya, slametan nyewu atau ke seribu harinya, slametan nguwis-uwisi atau peringatan saat kematian seseorang untuk terakhir kalinya.


No comments:

Post a Comment