Animisme
berasal dari kata anima, animae, dari bahasa
Latin animus, dan bahasa Yunani avepos, dalam bahasa Sanskerta
disebut prana, dalam bahasa Brani disebut ruah yang artinya nafas
atau jiwa.
Dari pandangan sejarah agama istilah tersebut digunakan dan diterapkan dalam
suatu pengertian yang lebih luas untuk menunjukkan kepercayaan terhadap adanya
makhluk-makhluk spiritual yang erat sekali hubungannya dengan tubuh atau jasad. Dalam artian yang lebih jelas bahwa kepercayaan animisme adalah suatu
kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh tumbuhan,
hewan, dan juga pada manusia itu sendiri. Semua benda yang bergerak dianggap
hidup dan mempunyai kekuatan ghaib atau memiliki roh yang berwatak buruk dan
baik. Dengan kepercayaan tersebut mereka berangapan bahwa disamping semua roh
yang ada, terdapat roh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Dan
agar terhindar dari roh tersebut mereka menyembahnya dengan jalan mengadakan
upacara disertai dengan sesaji.
Animisme juga memberi pengertian yang merupakan suatu usaha untuk
menjelaskan fakta-fakta alam semesta dalam suatu cara yang bersifat rasional.
Karenanya lalu sering di katakan “kepercayaan” atau “agama” dan “filsafat”
masyarakat yang belum berperadaban. Karena objek-objek tadi sangat berkuasa dan
menentukan keselamatan manusia, maka manusia lalu menghormatinya, menyembahnya
dan memujanya. Tingkat pemujaan dan penyembahan ini berdasar atas tingkat rasa
takut, penghargaan, rasa ketergantungan dan kebutuhan terhadapnya. Animisme sangat
populer dikalangan masyarakat primitif sehinga memberi kesan sebagai agama
primitif.
Sebagaimana yang terdapat di jawa sebelum pra islam, masyarakat jawa mayoritasnya
meyakini dengan keberadaan tersebut dan menjadikan hal tersebut sebuah
kepercayaan yang melekat dan aromanya masih terasa sampai sekarang ini. Sepeti contoh
berikut:
1. pemberian sesaji atau sesajen kanggo sing mbahureksa,
mbahe atau danyang yang berdiam di pohon-pohon beringin atau pohon
besar dan telah berumur tua, di sendang-sendang atau belik, tempat mata
air, di kuburan-kuburan tua dari tokoh yang terkenal pada masa lampau atau
tempat-tampat lainnya yang dianggap keramat dan mengandung kekuatan gaib atau
angker dan wingit atau berbahaya. Agar dapat menarik simpati roh-roh
yang berdiam di tempat angker tersebut, maka pada waktu tertentu dipasang
sesaji berupa sekedar makanan kecil dan bunga. Sesaji diselenggarakan untuk
mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya kekuatan makhluk-makhluk halus
seperti lelembut, demit dan jin yang mbahureksa atau diam di
tempat-tempat tersebut agar tidak mengganggu keselamatan, ketentraman, dan
kebahagiaan keluarga yang bersangkutan. Selain itu juga untuk memohon berkah
dan memohon perlindungan dari yang mbahureksa agar terhindar dan
terjauhkan dari gangguan makhluk halus lainnya yang diutus oleh seseorang untuk
mengganggu keluarganya.
2.
Upacara
kematian yang di laksanakan secara berurutan sebagai berikut. Slametan
surtanah atau geblak yang diadakan pada saat meninggalnya seseorang,
slametan nelung dina, yaitu upacara keselamatan kematian yang diadakan
pada hari ke tiga sesudah saat meninggalnya seseorang. Slametan mitung dina,
yaitu upacara selamatan saat sesudah meninggalnya seseorang yang jatuh pada
hari ke tujuh. Kemudian, slametan matang puluh dina atau empat puluh
harinya, slametan nyatus atau seratus hari, slametan mendak sepisan
dan mendak kepindo, yaitu setahun dan dua tahunnya, slametan nyewu
atau ke seribu harinya, slametan nguwis-uwisi atau peringatan
saat kematian seseorang untuk terakhir kalinya.
No comments:
Post a Comment